AXA Tower Kuningan City

COMODITY

Sesuatu benda nyata yang relatif mudah di perdagangkan, yang biasanya dapat dibeli atau dijual oleh Investor melalui bursa berjangka

PT. RIFAN FINANCINDO BERJANGKA

Jl. Prof. DR. Satrio Kav. 18 Kuningan Setia Budi, Jakarta 12940 Telp : (021)30056300, Fax : (021)30056200

Transaksi anda kami jamin aman dari virus, hacker atau gangguan sejenisnya. Karena trading platfoen kami telah terproteksi sangat baik

Tampilkan postingan dengan label pajak UKM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pajak UKM. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Juni 2015

Pajak UKM dan Penghapusan Pajak Barang Mewah

Jakarta, Rifan Financindo Berjangka - Tahun 2013 pemerintah mengeluarkan kebijakan di bidang perpajakan yakni pengenaan pajak penghasilan (PPh) sebesar 1 persen bagi para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memiliki omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. Kebijakan tersebut diatur melalui Peraturan Pemerintah Nompor 46 tahun 2013.
Saat ini, pemerintah segera akan mengesahkan kebijakan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Pajak terhadap barang-barang mewah yang lazim hanya dibeli oleh orang-orang berada. Membandingkan kedua kebijakan ini, cukup adilkah pemerintah dalam membuat kebijakan perpajakan bagi warga negaranya?
Menurut Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati pada dasarnya tidak masalah jika pemerintah tetap mengenakan pajak penghasilan terhadap UKM sebesar 1 persen dari omzet. Namun, pemerintah harus membedakan skala usaha kecil menengah dengan yang mikro-kecil.
“Walaupun rukonya kecil kalau omzet miliaran, jelas dia wajib (bayar pajak), dia efektif dikenai pajak. Jadi, kalau misalnya omzetnya kecil-kecil kayak warteg itu ya enggak perlu. Tapi, kalau kayak yang di Tanah Abang itu sehari ada yang miliaran. Itu memang menjadi potensi WP,” kata Enny kepada Kompas.com, Minggu (14/6/2015).
Namun, lanjut Enny, persoalan yang ada saat ini yaitu sebagian besar UKM berupa pekerja atau usaha informal dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sehingga, seharusnya yang pertama dilakukan pemerintah yaitu melakukan pendataan. Baru kemudian menentukan berapa range omzet yang bisa dikenai pajak penghasilan.
Dia bilang, validitas data objek pajak sangat penting. Dia pun menyarankan, jika Dirjen Pajak Kementerian Keuangan ingin melakukan reformasi, yang paling dekat dilakukan adalah melakukan reformasi validitas data. “Bukan menambah petugas pajak. Kalau data itu valid, ratio petugas pajak itu menjadi tidak terlalu penting. Bisa digantikan dengan teknologi,” ucap Enny.
Sementara itu, terkait dengan kebijakan penghapusan PPnBM, Enny menegaskan pemerintah perlu mengkaji ulang. Sebab, jangan sampai kebijakan ini justru akan menimbulkan dampak negatif terhadap industri dalam negeri dan neraca perdagangan.
Menurut Enny, jika pemerintah ingin mendorong konsumsi, maka yang harusnya diberikan insentif adalah industri, bukan konsumen.

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/